Sabtu, 02 Juni 2012

Cinta


Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.


Hukum Mengeluarkan Zakat dengan Uang


Telah diulas bahwa zakat hewan ternak dikeluarkan dengan hewan ternak pula. Zakat hasil pertanian dikeluarkan 10% atau 5% dari hasil panen. Begitu pula dengan zakat emas dan perak dikeluarkan 2,5% dari keduanya. Apakah kita harus mengeluarkan zakat sesuai dengan yang sudah ditentukan ini? Ataukah zakat boleh saja dikeluarkan dengan sesuatu yang senilai (qimah), misalnya uang?

Qimah adalah sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat, bisa jadi disetarakan dengan uang, makanan atau pakaian.
Untuk pembahasan bolehkah zakat fithri ditunaikan dengan qimah, maka kita harus meninjau dari sisi zakat harta (emas, perak, mata uang, barang dagangan, hasil pertanian, hewan ternak, harta karun) dan zakat fithri.
Tinjauan pertama: Zakat harta
Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh, tetap harus dikeluarkan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan dalam dalil.
Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Daud Azh Zhohiri. Alasannya karena ketentuannya telah demikian.
Yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini adalah hadits-hadits berikut ini.
Abu Bakr Ash Shiddiq menyebutkan jumlah zakat sesuai yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,
فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ إِلَى أَنْ تَبْلُغَ خَمْسًا وَثَلاَثِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ
Jika unta telah mencapai 25-35 ekor, maka ada kewajiban zakat dengan 1 bintu makhodh (unta betina umur 1 tahun). Jika tidak ada bintu makhodh, maka boleh dengan 1 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun).[1] Jika boleh diganti dengan yang lain yang senilai semacam uang, tentu akan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan.
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …[2] Dalam hadits ini juga tidak disebutkan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat fithri tadi) semisal uang. Padahal jika ada hajat hal tersebut pasti dijelaskan. Namun tetap dibatasi hanya pada makanan pokok seperti kurma dan gandum.
Pendapat kedua: Boleh dikeluarkan dengan yang senilai, misalnya dengan uang dan pakaian.
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, pendapat Imam Bukhari, salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Di antara dalil yang digunakan:
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu,
مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
"Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza'ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza'ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza'ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza'ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing."[3]
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.
Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,
ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمَدِينَةِ
Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.”[4]Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.
Pendapat rojih (terkuat)
Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah menggabungkan di antara dalil-dalil dari kedua kubu di atas. Pada asalnya, zakat harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam dalil. Namun jika terpaksa atau karena adanya kebutuhan dan pertimbangan maslahat, maka diperbolehkan membayarkan zakat dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Demikian yang jadi pendapat pilihan Ibnu Taimiyah dalam fatawanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, “Bagaimana dengan hukum orang yang mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat semisal uang)? Karena jika dikeluarkan dengan qimah akan lebih bermanfaat untuk orang miskin. Seperti itu boleh ataukah tidak?”
Ibnu Taimiyah menjawab, “Mengeluarkan zakat dengan qimah dalam zakat, kafaroh dan semacamnya, maka telah ma’ruf dalam madzhab Malik dan Syafi’i akan tidak bolehnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan. Adapun Imam Ahmadrahimahullah dalam salah satu pendapat melarang mengeluarkan zakat dengan qimah. Namun di kesempatan lain Imam Ahmad membolehkannya. Ada sebagian ulama Hambali mengeluarkan perkataan  tegas dari Imam Ahmad dalam masalah ini dan ada yang menjadikannya menjadi dua pendapat.
Pendapat terkuat dalam masalah ini: mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai) tanpa ada kebutuhan dan maslahat yang lebih besar jelas terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan zakat dengan dua unta atau 20 dirham, dst dan beliau tidak beralih pada uang seharga barang-barang tadi. Karena jika kita nyatakan boleh secara mutlak pengeluaran zakat dengan uang senilai, maka nanti si pemberi zakat akan mengeluarkan dari yang jelek dan akan memudhorotkan si penerima zakat dalam perhitungan. Karena zakat dibangun atas dasar ingin menyenangkan orang yang butuh. Kita dapat melihat hal ini dari besarnya zakat yang dikeluarkan dan jenis zakat tersebut.
Adapun mengeluarkan zakat jika terdapat hajat (kebutuhan), maslahat dan keadilan, maka boleh saja dikeluarkan denganqimah (sesuatu yang senilai). Semisal seseorang menjual kebunnya atau tanamannya dan memperoleh uang dirham. Lalu ia keluarkan zakat hasil pertanian dengan dirham tadi, ini boleh. Ia tidak perlu bersusah payah membeli buah atau gandum sebagai zakatnya. Karena seperti ini pun telah sama-sama menyenangkan si miskin. Bahkan ada nash dari Imam Ahmad akan bolehnya hal ini.
Contohnya lagi, bagi yang memiliki lima ekor unta, maka ia punya kewajiban berzakat dengan seekor kambing. Namun sayangnya, kala itu tidak ada seorang pun yang mau menjualkan seekor kambing untuknya. Akhirnya, ia mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai (qimah). Jadi ia tidak perlu bersusah payah bersafar ke kota lain untuk membeli kambing.
Atau contoh lain, seseorang yang berhak menerima zakat (semisal fakir miskin) meminta agar diberikan sesuatu yang senilai dengan harta zakat, lalu mereka diberi seperti itu atau ini dirasa lebih bermanfaat bagi orang miskin, maka itu boleh. Sebagaimana dinukil dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia berkata pada penduduk Yaman, “Berikan padaku pakaian atau baju yang mudah dan baik menurut kalian yang nanti akan diserahkan pada orang Muhajirin dan Anshor di Madinah.” Ada yang mengatakan riwayat tadi membicarakan masalah zakat dan ada yang mengatakan pada masalah jizyah (upeti).” Demikian perkataan Ibnu Taimiyah.[5]
Dari penjelasan Ibnu Taimiyah ini bukan berarti kita bermudah-mudahan mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai semisal dengan uang. Namun tetap asalnya zakat dikeluarkan sesuai yang disebutkan dalam dalil. Kalau diperintahkan dikeluarkan dengan satu ekor kambing, maka demikian penunaiannya, dan seterusnya. Tidak boleh beralih ke sesuatu yang senilai (qimah) kecuali jika dalam keadaan darurat, hajat (dibutuhkan), atau ada maslahat yang jadi pertimbangan.[6]
Tinjauan kedua: Zakat Fithri (Zakat Fitrah)
Jika zakat harta yang kita bahas di atas boleh ditunaikan dengan uang atau yang senilai dengannya, berbeda halnya dengan zakat fithri. Zakat fithri harus tetap dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti uang. Ada beberapa alasan dalam hal Ini:
1. Para sahabat mengkonversikan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum dengan setengah sho’ burr (sejenis gandum). Dalil-dalil yang dimaksud:
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu sho’kurma atau satu sho’gandum". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah sho’ burr.”[7]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah sho’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah (bin ‘Umar) memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum.[8]
‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu sho’kurma atau satu sho’gandum”. Ibnu ‘Umar berkata,
فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd (setengah sho’) hinthah (sejenis gandum).[9] Hadits-hadits di atas masih menunjukkan bahwa zakat fithri dengan makanan, bukan dengan uang, pakaian atau sesuatu yang senilai lainnya.
2. Hadits yang dipahami bolehnya zakat dengan qimah seperti diterangkan dalam hadits Anas mengenai surat Abu Bakr dan riwayat Mu’adz yang memerintahkan membayar zakat dengan pakaian, hanya berlaku untuk zakat harta yaitu zakat hewan ternak serta zakat gandum dan jagung (hasil pertanian), qimah-nya pun terbatas yang disebutkan dalam hadits.
3. Tujuan zakat fithri adalah untuk memberi makanan pada orang miskin. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[10] Sedangkan jika yang dibutuhkan fakir miskin adalah uang, emas, atau hewan ternak, maka diperoleh bukan dari zakat fithri tetapi dari zakat harta.
4. Fatwa dari Ibnu Taimiyah dimaksudkan untuk zakat harta dilihat dari contoh-contoh yang beliau sampaikan.
5. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berpendapat sebagaimana Ibnu Taimiyah, yaitu asalnya mengeluarkan zakat harta sesuai yang diperintahkan dalam dalil kecuali jika ada maslahat boleh dikeluarkan dengan qimah. Namun untuk perihal zakat fithri, Syaikh Ibnu Baz tetap memerintahkan dengan makanan pokok, tidak bisa digantikan dengan qimah atau uang. Karena zakat harta dan zakat fithri adalah dua kewajiban berbeda.
Syaikh Ibnu Baz ditanya, “Bolehkah mengeluarkan zakat hewan ternak dengan harta atau wajib mengeluarkannya dengan hewan ternak pula? Sebagian ikhwah berkata kepadak bahwa boleh mengeluarkan zakat hewan ternak tersebut dengan harta. Karena Allah Ta’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103). Apakah boleh mengeluarkan zakat fithri dengan uang?”
Jawaban Syaikh Ibnu Baz, “Wajib mengeluarkan zakat dengan harta yang sama, seperti unta, sapi, kambing, dan makanan. Ini wajib dan inilah asalnya sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika ada hajat dan maslahat mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat), atau karena perintah dari penguasa yang memerintahkan mengeluarkannya dengan qimah, maka tidak mengapa. Begitu pula boleh mengeluarkan dengan qimah ketika orang yang menunaikan zakat tidak mendapatkan hewan ternak sesuai umur yang diperintahkan untuk dikeluarkan. Atau bisa jadi pula karena orang miskin meminta diberikan qimah (semisal uang) saja karena itu lebih baik bagi mereka. Maka keadaan seperti ini yang diserahkan adalah qimah yang pertengahan. Tidaklah masalah mengeluarkan seperti itu karena ada maslahat syar’i. Yang dikeluarkan adalah sesuatu seharga unta, sapi, kambing atau makanan yang nilainya pertengahan, artinya tidak terlalu jelek dan tidak kemahalan. Begitu pula ketika seseorang menjual buah-buahan hasil panen berupa kurma atau biji-bijian, maka ketika itu zakat yang dikeluarkan adalah berupa uang sebagai ganti dari makanan-makanan tadi karena makanan tersebut telah dijual dan tidak ada lagi. Jadinya yang diserahkan sebagai zakat adalah uang. Namun jika zakat yang dikeluarkan dengan kurma atau biji-bijian, maka itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih hati-hati.
Begitu pula zakat fithri harus dari makanan. Tidak boleh zakat fithri ditunaikan dengan barang lain yang senilai (qimah). Zakat fithri tetap dikeluarkan dengan makanan sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“(Zakat fithri itu) berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …[11] Para sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga mengeluarkan zakat dengan satu sho’ keju dan satu sho’ anggur. Semua ini dikeluarkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud satu sho’ untuk kewajiban zakat fithri adalah dari makanan pokok di negeri masing-masing seperti beras. Jadi wajib mengeluarkan zakat fithri dengan makanan pokok yang ada di negeri masing-masing berupa beras, kurma, gandum, jagung atau semacamnya. Inilah pendapat yang dianut mayoritas ulama. Adapun dengan qimah tidaklah dibolehkan untuk zakat fithri. Pendapat yang menyatakan zakat fithri boleh dengan qimah (uang) adalah pendapat yang lemah dan marjuh (tidak kuat). [12]
Intinya, zakat fithri tetap ditunaikan dengan satu sho’ dari makanan pokok, bukan dengan qimah atau uang. Lihat bahasanPanduan Zakat Fithri dan Hukum Zakat Fithri dengan Uang.
Semoga Allah memberi hidayah demi hidayah.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 11 Rajab 1433 H

[1] HR. Abu Daud no. 1567, An Nasai no. 2447, Ibnu Majah no. 1798 dan Ahmad 1: 11. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
[2] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[3] HR. Bukhari no. 1453.
[4] HR. Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thowus bin Kaisan.
[5] Majmu’ Al Fatawa, 25: 83.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 84.
[7] HR. Bukhari no. 1511.
[8] HR. Abu Daud no. 1615. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] HR.  Bukhari no. 1507 dan Muslim no. 984.
[10] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[12] Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb, 15: 69.


Perhitungan Zakat Barang Dagangan


Sebelumnya rumaysho.com pernah membahas zakat emas dan perak serta zakat mata uang dan penghasilan. Saat ini ada pembahasan yang cukup urgent untuk diangkat yaitu zakat perdagangan. Khusus bagi pelaku bisnis atau para pedagang mesti memahami hal ini. Semoga harta dan bisnis kita semakin barokah dengan memperhatikan zakat.
Mengenal zakat barang dagangan
Barang dagangan (‘urudhudh tijaroh) yang dimaksud di sini adalah yang diperjualbelikan untuk mencari untung.
Dalil akan wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Imam Bukhari meletakkan Bab dalam kitab Zakat dalam kitab shahihnya, di mana beliau berkata,
باب صَدَقَةِ الْكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ
Bab: Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)[1], setelah itu beliau rahimahullah membawakan ayat di atas.
Kata Ibnul ‘Arobi,
{ مَا كَسَبْتُمْ } يَعْنِي : التِّجَارَةَ
“Yang dimaksud ‘hasil usaha kalian’ adalah perdagangan”.[2]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama empat madzhab dan ulama lainnya –kecuali yang keliru dalam hal ini- berpendapat wajibnya zakat barang dagangan, baik pedagang adalah seorang yang bermukim atau musafir. Begitu pula tetap terkena kewajiban zakat walau si pedagang bertujuan dengan membeli barang ketika harga murah dan menjualnya kembali ketika harganya melonjak. … ”[3]
Syarat zakat barang dagangan
  1. Barang tersebut dimiliki atas pilihan sendiri dengan cara yang mubah baik lewat jalan cari untung (mu’awadhot) seperti jual beli dan sewa atau  secara cuma-cuma (tabaru’at) seperti hadiah dan wasiat.
  2. Barang tersebut bukan termasuk harta yang asalnya wajib dizakati seperti hewan ternak, emas, dan perak. Karena tidak boleh ada dua wajib zakat dalam satu harta berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan zakat pada emas dan perak –misalnya- itu lebih kuat dari zakat perdagangan, karena zakat tersebut disepakati oleh para ulama. Kecuali jika zakat tersebut di bawah nishob, maka bisa saja terkena zakat tijaroh.[4]
  3. Barang tersebut sejak awal dibeli diniatkan untuk diperdagangkan[5] karena setiap amalan tergantung niatnya.  Dantijaroh (perdagangan) termasuk amalan, maka harus ada niat untuk didagangkan sebagaimana niatan dalam amalan lainnya.
  4. Nilai barang tersebut telah mencapai salah satu nishob dari emas atau perak, mana yang paling hati-hati dan lebih membahagiakan miskin. Sebagaimana dijelaskan bahwa nishob perak itulah yang lebih rendah dan nantinya yang jadi patokan dalam nishob.
  5. Telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah). Jika barang dagangan saat pembelian menggunakan mata uang yang telah mencapai nishob, atau harganya telah melampaui nishob emas atau perak, maka haul dihitung dari waktu pembelian tersebut.[6] [7]
Kapan nishob teranggap pada zakat barang dagangan?
  1. Haul baru dihitung setelah nilai barang dagangan mencapai nishob.
  2. Menurut jumhur (mayoritas ulama), nishob yang teranggap adalah pada keseluruhan haul (selama satu tahun). Jika nilai barang dagangan di pertengahan haul kurang dari nishob, lalu bertambah lagi, maka perhitungan haul dimulai lagi dari awal saat nilainya mencapai nishob. Adapun jika pedagang tidak mengetahui kalau nilai barang dagangannya turun dari nishob di tengah-tengah haul, maka asalnya dianggap bahwa nilai barang dagangan masih mencapai nishob.[8]
Apakah mengeluarkan zakat barang dagangan denan barangnya atau nilainya?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat barang dagangan dengan nilainya karena nishob barang dagangan adalah dengan nilainya. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpandangan bahwa pedagang boleh memilih dikeluarkan dari barang dagangan ataukah dari nilainya.[9] Adapun Ibnu Taimiyah memilih manakah yang lebih maslahat bagi golongan penerima zakat.[10]
Perhitungan zakat barang dagangan
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang dagangan* + uang dagang yang ada + piutang yang diharapkan – utang yang jatuh tempo**.
* dengan harga saat jatuh haul, bukan harga saat beli.
** utang yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.
Kalau mencapai nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5% atau 1/40.
Contoh:
Pak Muhammad mulai membuka toko dengan modal 100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan Pak Muhammad sebagai berikut:
- Nilai barang dagangan     = Rp.40.000.000
- Uang yang ada                     = Rp.10.000.000
- Piutang                                   = Rp.10.000.000
- Utang                                      = Rp.20.000.000 (yang jatuh tempo tahun 1433 H)
Perhitungan Zakat
= (Rp.40.000.000 + Rp.10.000.000 + Rp.10.000.000 – Rp.20.000.000) x 2,5%
= Rp.40.000.000 x 2,5%
= Rp.1.000.000
Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq.
Pahami pembahasan zakat emas dan perak serta zakat mata uang di rumaysho.com. Juga lengkapi dengan pembahasan syarat-syarat zakat.
Direvisi ulang @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Jumadats Tsaniyah 1433 H

[1] Shahih Al Bukhari pada Kitab Zakat
[2] Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arobi, 1: 469.
[3] Majmu’ Al Fatawa, 25: 45.
[4] Jika seseorang memiliki 10 kambing jika dijual maka harganya setara dengan 1000 dirham, artinya sudah di atas nishob perak. Maka ada kewajiban zakat untuk kambing tersebut meskipun tidak mencapai nishob kambing (yaitu 40 ekor). Karena yang jadi patokan dalam zakat barang dagangan adalah qimah, yaitu nilai barang tersebut.
Sebaliknya jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, artinya sudah mencapai nishob. Kemudian ia persiapkan untuk dijual (berarti masuk zakat barang dagangan) dan harganya adalah setara dengan 100 dirham, artinya di bawah nishob perak. Maka saat ini tidak ada zakat karena qimah atau harga kambing tersebut tidak mencapai nishob (Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 140-141).
[5] Jika seseorang membeli mobil dan berniat sejak awal untuk diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat jika qimah-nya (harga mobil) telah mencapai nishob. Namun jika niatan membeli mobil hanya untuk kepentingan pribadi, lalu suatu saat ia jual, maka tidak ada zakat. Karena mobil tersebut sejak awal tidak diniatkan untuk diperdagangkan namun hanya untuk digunakan untuk kepentingan pribadi (Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 141)
Jika awal pembelian diniatkan untuk penggunaan pribadi, namun di tengah jalan, mobil tersebut ingin didagangkan atau disewakan (dijadikan ro’sul maal atau pokok harta jual beli), maka tetap terkena wajib zakat jika telah melampaui haul dan nilainya di atas nishob. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 143).
[6] Jika barang dagangan misalnya dibeli pada tanggal 1 Jumadal Akhir 1432 H seharga Rp.15 juta. Nishob perak = 595 gram x Rp.5.000/gram = Rp.2.975.000 dan nisbob emas = 85 gram x Rp.500.000/gram = Rp.42.500.000. Ini berarti barang dagangan tersebut sudah melebehi nishob dan terkena zakat. Perhitungan haul dihitung dari 1 Jumadal Akhir 1432 H dan pengeluaran zakat adalah satu tahun berikutnya, 1 Jumadal Akhir 1433 H.
[7] Lihat Al Mulakhosh Al Fiqhiy, 1: 346-347, Syarhul Mumthi’,  Al Wajiz Al Muqorin, hal. 36-37 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 56-57.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 57 dan Al Wajiz Al Muqorin, hal. 37-39.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 57-58.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 25: 80.

Panduan Zakat Mata Uang dan Penghasilan


Sebelumnya, rumaysho.com telah mengungkap panduan zakat emas dan perak, ditambah dengan zakat perhiasan. Untuk saat ini, alat tukar menukar sudah beralih, bukan lagi dinar (emas) dan dirham (perak) seperti di masa silam. Kedua mata uang tersebut sudah tergantikan oleh uang kertas. Sama halnya dengan emas dan perak, uang kertas pun terkena kewajiban zakat. Bagi yang punya simpanan atau memiliki penghasilan bulanan dan telah mencapai nishob serta sudah mencapai haul, maka wajib dizakati sebesar 2,5%. Berikut panduan sederhana yang dapat kami hadirkan.
Zakat Mata Uang
Mata uang wajib dizakati karena fungsinya sebagai alat tukar sebagaimana emas dan perak yang ia gantikan fungsinya saat ini. Hukum mata uang ini pun sama dengan hukum  emas dan perak karena kaedah yang telah ma’ruf “al badl lahu hukmul mubdal” (pengganti memiliki hukum yang sama dengan yang digantikan).
Mata uang yang satu dan lainnya bisa saling digabungkan untuk menyempurnakan nishob karena masih dalam satu jenis walau ada berbagai macam mata uang dari berbagai negara.[1]
Yang jadi patokan dalam nishob mata uang adalah nishob emas atau perak. Jika mencapai salah satu nishob dari keduanya, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, maka tidak ada zakat. Jika kita perhatikan yang paling sedikit nishobnya ketika ditukar ke mata uang adalah nishob perak. Patokan nishob inilah yang lebih hati-hati dan lebih menyenangkan orang miskin. Besaran zakat mata uang adalah 2,5% atau 1/40 ketika telah mencapai haul.[2]
Contoh perhitungan zakat mata uang:
Simpanan uang yang telah mencapai haul adalah Rp.10.000.000,-
Harga emas saat masuk haul = Rp.500.000,-/gram (perkiraan). Nishob emas = 85 gram x  Rp.500.000,-/gram = Rp.42.500.000,-.
Harga perak saat masuk haul = Rp.5.000,-/gram (perkiraan). Nishob perak = 595 gram x Rp.5.000,-/gram = Rp.2.975.000,-.
Yang jadi patokan adalah nishob perak. Simpanan di atas telah mencapai nishob perak, maka besar zakat yang mesti dikeluarkan = 1/40 x Rp.20.000.000,- = Rp.500.000,-.
Zakat Penghasilan atau Gaji Bulanan
Sama halnya dengan emas dan perak, zakat penghasilan harus memenuhi syarat yang telah disebutkan. Di antara syarat tersebut adalah penghasilan tersebut telah mencapai nishob dan telah haul (masa satu tahun). Yang jadi patokan adalah nishob perak sebagaimana penjelasan dalam nishob mata uang.
Namun perlu dipahami bahwa pekerja itu ada dua kondisi dilihat dari penghasilannya (gajinya):
Pertama: Orang yang menghabiskan seluruh gajinya (setiap bulan) untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak ada sedikit pun harta yang disimpan. Kondisi semacam ini tidak ada zakat.
Kedua: Pekerja yang mampu menyisihkan harta simpanan setiap bulannya, kadang harta tersebut bertambah dan kadang berkurang. Kondisi semacam ini wajib dikenai zakat jika telah memenuhi nishob dan mencapai haul.
Adapun sebagian orang yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian yaitu setiap bulan), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat.[3]
Contoh perhitungan zakat penghasilan:
Misal harta yang tersimpan dari mulai usaha atau mulai bekerja:
Pada tahun 1432 H, Muharram: Rp.500.000,-
Safar: Rp.1.000.000,-
Rabiul Awwal: Rp.500.000,-
Rabiuts Tsani: Rp.1.000.000,- (sudah mencapai nishob perak, sekitar Rp. 3 juta,-)
Berarti perhitungan haul (satu tahun) dimulai dari Rabiuts Tsani 1432 H dan Rabiuts Tsani tahun berikut wajib zakat.
Jumadal Ula: Rp.1.000.000,-
Jumadal Akhir: Rp.2.000.000,-
Rajab: Rp.1.000.000,-
Sya’ban: Rp.500.000,-
Ramadhan: Rp.2.000.000,-
Syawwal: Rp.2.000.000,-
Dzulqo’dah: Rp.3.000.000,-
Dzulhijjah: Rp.2.000.000,-
Pada tahun 1433 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
Safar: Rp.2.000.000,-
Rabiul Awwal: Rp.1.000.000,-
Rabiuts Tsani: Rp.2.500.000,-
Di awal Rabi’uts Tsani, total harta simpanan =  Rp.25.000.000,-
Zakat yang dikeluarkan = 1/40 x Rp.25.000.000,- = Rp.625.000,-

Simak beberapa bahasan zakat berikut ini:
Semoga sajian singkat ini semakin bermanfaat. Jangan lupakan zakat, karena pengeluaran zakat akan senantiasa memberkahi harta kita. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah demi hidayah.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 25 Jumadal Akhir 1433 H

[1] Lihat Al Wajib Al Muqorin, hal. 31.
[2] Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 511 dan tulisan di link http://www.saaid.net/Doat/dhafer/59.htm.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 27-28 dan fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Al Islam Sual wal Jawab no. 26113.

Sumber : http://rumaysho.com/hukum-islam/zakat/3798-panduan-zakat-mata-uang-a-zakat-penghasilan.html